Sandy, ya itu namaku. Jangan kira, aku seorang perempuan karna aku adalah lelaki tulen. Namaku memang terlihat seperti nama seorang wanita jika dibaca dengan cara baca Bahasa Inggris. Dulu, saat aku duduk di sekolah dasar aku sering diejek karna namaku itu. Tapi setelah ada di sekolah menengah pertama, aku akrab dipanggil San-San. Yah, kurasa lebih baik lah, daripada Sendy. Nama itu terus kupakai sampai aku beranjak ke pendidikan selanjutnya, sekolah menengah atas.
Tak terasa, libur pergantian tahun ajaran sedang berlangsung. Aku akan beranjak ke kelas 11 atau kelas dua sekolah menengah atas. Libur ini sungguh tak seperti libur-libur sebelumnya. Libur kali ini, aku tak pergi ke rumah nenek, tak pergi berlibur, juga tak bersantai di rumah. Libur kali ini kuhabiskan dengan se-abrek kegiatan di sekolah untuk menyambut siswa-siswi baru. Aku tergabung dalam panitia MOS, meskipun hanya seksi dokumentasi, aku cukup disibukkan dengan jabatan sementara ini.
Akhirnya, semua persiapan usai. Hari ini, hari pertama MOS. Kulihat adik-adik kelasku yang baru. Tampang mereka lucu sekali, culun, seperti aku dulu. Mereka berbisik-bisik ketika kawan-kawanku sibuk lalu lalang menyiapkan perlengkapan untuk upacara pembukaan acara ini. Aku hanya membantu sedikit sambil sesekali kuambil potret-potret kegiatan sibuk itu.
Setelah upacara selesai, siswa baru diajak berkeliling ruang-ruang di sekolah ini. Mereka terbagi dalam beberapa kelompok dan setiap kelompok itu didampingi pendamping yang terdiri dari beberapa kawanku. Mereka bertugas memberikan hal-hal dasar pada siswa baru. Kalau aku si hanya menggotong-gotong kamera dan jeprat-jepret sana-sini. Cukup mudah dan itu memang hobiku.
Sore hari setelah pemberian materi oleh kawan-kawanku, ada kegiatan yang paling membuat jantung copot dan badan gemetar. Kawan-kawanku yang membimbing siswa baru melakukan review materi yang telah diberikan. Kalau siswa baru tidak bisa menjawab, mereka akan terkena bentak dari kawan-kawanku ini. Namun meskipun siswa baru bisa menjawab, mereka juga menjadi sasaran kejailan kawan-kawanku. Ada yang disuruh mencium lantai lapangan, lari-lari sambil berteriak-teriak, mukanya dicorang-coreng pake spidol, de-el-el.
Pada hari ke-dua kegiatan ini, aku melihat seorang anak baru. Ia berlari-lari karna memang sudah terlambat. Saking terburu-burunya, dia sampai menabrakku hingga barang-barang bawaannya (yang kutau itu tugas dari kawan-kawanku sebagai hukuman untuknya) terjatuh berserakan. Ia seorang wanita. Dari name-tagnya yang besarnya seperti name-tag sapi, kutau namanya Shandy. Sama denganku, hanya beda satu huruf dan juga mungkin cara bacanya.
“Maaf, Kak. Permisi.” katanya sambil buru-buru memunguti barang-barangnya dan langsung pergi.
Aku tak menjawabnya karna tertegun melihat wajahnya yang sungguh polos. Aku mengamatinya head to toe. Ia sempat memandangku dengan tatapan bingung, tapi ia segera berdiri dan berlari saat ia sadar ia telah terlambat. Aku mengejarnya dan melihatnya sedang dibentak oleh kawanku, Icha. Suara Icha melengking sekali. Kedatanganku membuatnya berhenti mengeluarkan suara melengkingnya. Ia langsung menyuruh Shandy masuk ke kelas.
“Hai, San. Ada yang bisa kubantu?” kata Icha sok manis.
“Tidak. Aku hanya ingin mengambil gambar di kelasmu. Boleh?” kataku sebagai alasan agar aku bisa mengambil gambar Shandy.
“Kenapa kelasnya? Bukan aku saja?” jawabnya sambil mengerling genit.
“Heh?! Sepertinya kau terlalu jelek untuk dijadikan objek fotoku.” jawabku jujur sambil menahan tawa.
“Hehe. Baiklah. Aku tau kau becanda. Silakan Mr. San.” lagaknya sambil membungkukkan badan.
Aku tinggal saja si Icha yang masih membungkuk sambil kujulurkan lidahku. Aku langsung menangkap sosok Shandy di bangku paling depan. Aku tersenyum kepadanya yang sedang cemberut. Mungkin karna ia tau ia akan mendapat hukuman lagi. Saat melihatku, ia tak tersenyum sedikitpun bahkan ia malah melengos. Menggemaskan. Langsung ku ambil potret wajahnya yang sedang mengerucutkan mulutnya. Agar tak dicurigai kawan-kawanku, aku juga mengambil beberapa potret siswa lain.
Sebelum pulang, aku mampir di sebuah toko alat-alat tulis dan perlengkapan kantor. Aku melihat Shandy, yang sedang sibuk memilih-milih sesuatu. Kudekati dia dan kusapa dia.
“Hai.” sapaku garing.
Shandy menengok ke atas, ke arahku sambil melongo. Wajah yang lucu. Ia tidak langsung membalas sapaanku. Ia hanya menatapku sambil mengerutkan dahinya, mungkin ia lupa dengan wajahku.
Ia berdiri dan berkata, “Hai juga, Kak.” jawabnya sambil sedikit tersenyum.
“Lagi cari apa? Buat hukuman lagi ya?” tanyaku lagi.
“Iya.” jawabnya sambil tersenyum kecut.
“Apa kau juga terlambat kemarin?” tanyaku ingin tau.
“Tidak. Kemarin dihukum gara-gara lupa bawa identitas kelompok. Yang sekarang, hukuman gara-gara telat. Entah yang besok.” katanya seperti sedang curhat.
“Sabar saja. Semua pasti ada gunanya.” kataku sambil nyengir.
Ia mengangguk-angguk dengan lemah, mungkin hanya setengah setuju. Aku memandangi wajahnya hingga muncul sesuatu yang kurasakan. Entah apa yang kurasa, aku tak tahu rasa ini. Rasa yang baru kurasakan. Rasa yang muncul hanya saat aku melihat Shandy. Apa ini yang disebut C-I-N-T-A itu oleh kawan-kawanku? Entahlah, yang kutahu aku senang dengan rasa ini.
“Kak...Kakaaaak?!” kulihat Shandy sedang sibuk berteriak sambil melambai-lambaikan tangannya di depan mukaku.
“Eh, iya iya maaf aku ngelamun” jawabku sambil dengan muka memerah saat menjawabnya.
“Oh God, ternyata kakak kelasku yang satu ini, yang suka nggotong-nggotong kamera, yang suka jeprat-jepret muka orang sekenanya,juga suka ngelamun dimana aja. Ckckck.” kata Shandy dengan muka jahilnya berharap aku akan sedikit kesal. Aku hanya menjulurkan lidahku sambil mencubit gemas pipinya yang putih gembul seperti bakpao.
“Eh?! Cubit bayar!” hardiknya sambil melotot kesal dan bertolak pinggang.
*cuthel*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar